Bisakah seseorang terlahir pintar? - Begitu sering kita mendengar tentang orang-orang yang memiliki bakat alami, yang sejak kecil menunjukkan keterampilan dan kecerdasan yang menyamai atau bahkan melebihi orang dewasa, orang-orang yang seolah-olah ditakdirkan untuk menjadi jenius, Amadeus Mozart contohnya, mengkomposisi musik sejak umur 5 tahun dan mampu menyalin keseluruhan dari komposisi suatu pertunjukan orkestra murni dari ingatan sejak dirinya masih remaja. Bobby Fischer memenangkan kejuaraan catur dunia pada usia 14 tahun dan meraih gelar grandmaster hanya setahun kemudian. Jean Francois Champollion menguasai 7 bahasa ketika dia berumur 13 tahun dan kemudian menggunakan keahliannya ini untuk memecahkan arti dari Hieroglif yang tertulis di Batu Rosetta. Kamu juga pasti pernah kenal teman di sekolah yang tampaknya dapat menguasai semua mata pelajaran dengan mudah sementara dirimu berupaya sekeras mungkin tetap tidak bisa mendekati levelnya sedikit pun. Jadi apakah benar ada orang yang memang jenius dari lahir? Apakah kepintaran kita ditentukan dari keturunan? dan apabila demikian dapatkah kerja keras merubah takdir ini? untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, silakan simak artikel ini.
|
Bisakah Seseorang Terlahir Pintar? |
Perdebatan mengenai pengaruh faktor genetik dan faktor lingkungan terhadap kepribadian seseorang lebih dikenal dengan perdebatan Nature vs Nurture. Apakah segala hal dalam diri kita, dari aspek fisik hingga psikologis sudah ada di dalam DNA kita masing-masing? atau apakah kita seperti bongkahan tanah liat yang harus dibentuk oleh lingkungan dan pengalaman kita masing-masing? selama ini terdapat 1 cara jitu untuk menjawab pertanyaan tersebut yaitu dengan mempelajari saudara kembar identik, lebih tepatnya saudara identik yang terpisah dari lahir.
Tetapi mengapa demikian? karena sudara identik memiliki DNA yang 100% sama, sehingga satu-satunya variabel yang menentukan kepribadiannya adalah lingkungan. Oleh karena itu, apabila dua saudara kembar yang tumbuh besar di lingkungan yang jauh berbeda memiliki kepribadian yang sama dapat disimpulkan bahwa faktor genetiklah yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap kepribadian.
Teori ini mendapatkan perhatian besar pada tahun 1979, di mana saudara kembar identik Jim Lewis dan Jim Springer bertemu untuk pertama kalinya setelah hidup terpisah selama 39 tahun. Meskipun mereka tidak pernah bertemu satu sama lain, secara kepribadian mereka seolah-olah adalah orang sama.
Seperti contoh, ketika mereka masih kecil, mereka berlibur di pantai yang sama dan memiliki anjing yang sama-sama mereka namakan Toy. Ketika dewasa, mereka menikah dengan seorang wanita bernama Linda dan kemudian cerai, dan menikah lagi hal ini dengan wanita bernama Betty. Anak mereka berdua diberi nama James Alan dan selain itu pekerjaan, hobi, dan bahkan merek rokok dan bir yang mereka sukai semua sama.
Kasus ini memukau banyak orang dan mendorong inisiatif penelitian skala besar yang bertujuan untuk mempelajari saudara kembar yang tumbuh secara terpisah. Selama dua dekade penelitian yang dinamakan “The Minnesota Study of Twins Reared Apart” ini telah meneliti lebih dari 100 pasang saudara kembar, dan mereka menemukan sesuatu yang menarik mengenai faktor gen dalam tingkat kecerdasan manusia. Minnesota Study menemukan bahwa heritabilitas atau daya waris dari IQ sebesar 70% dengan beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa kisaran heritabilitas sekitar 57 sampai 73%.
Selebihnya ketika membandingkan korelasi nilai IQ antara saudara kembar yang terpisah, dilihat bahwa nilai IQ mereka memiliki tingkat kesamaan yang jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan saudara kandung yang hidup bersama. Lalu apa artinya semua ini? Apakah fakta bahwa heritabilitas IQ sebesar 70% berarti pendidikan hanya dapat mempengaruhi 30% dari tingkat kecerdasan kita? Jawabannya tidak. Heritabilitas tidak se-simple itu. Yang perlu kalian ketahui, angka heritabilitas itu bukan suatu nilai yang tetap, justru berubah secara signifikan tergantung pada lingkungan. Beberapa penyakit genetik yang memiliki heritabilitas 100% seperti fenilketonuria, yang menyebabkan keterbelakangan mental, dapat dirawat dengan merubah pola makan. Selebihnya semakin tinggi heritabilitas bukan berarti usaha yang diperlukan untuk merubah aspek tersebut semakin susah, contoh paling gampang adalah warna rambut, yang merupakan aspek fisik yang memiliki nilai heritabilitas sangat tinggi tapi kita dapat dengan mudah merubah warna rambut menggunakan pewarna. Jadi kita sekarang mengetahui, bahwa gen memang memiliki suatu peran dalam membentuk tingkat kecerdasan kita, namun seberapa besar atau kecil pengaruh tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, tapi bagaimana sebenarnya gen mempengaruhi kecerdasan kita? Apakah ada yang namanya gen pintar? Pertanyaan ini sedikt rumit karena dua hal, pertama “pntar” bersifat subjektif, terdapat banyak hal yang bisa membuat seseorang bisa pintar. Kepintaran terdiri dari banyak aspek, daya ingat, kemampuan berbahasa, logika, koordinasi tubuh, kesenian, keterampilan interpersonal, dan banyak lagi. Seorang dokter dan seorang atlet profesional misalnya, bisa sama-sama dikatakan pintar walaupun dalam bidang yang sangat berbeda. Dan yang kedua, walaupun angka pastinya masih diperdebatkan, beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa gen yang mempengaruhi kepintaran ada banyak sangat banyak.
Untuk menggambarkan seberapa banyak, kita ambil contoh tinggi badan. Di dalam DNAmu, terdapat lebih dari 700 gen yang berbeda, yang mempengaruhi tinggi badan. Setiap gen tersebut dapat menambah atau mengurangi tinggi badan sebesar kurang lebih 1 mm dan ini hanya tinggi badan satu aspek fisik yang mudah diukur mengingat kepintaran jauh lebih rumit dibandingkan tinggi badan maka dapat dibayangkan betapa banyak gen yang memiliki pengaruh terhadap kepintaran.Beberapa gen mungkin memiliki pengaruh secara langsung, seperti mempengaruhi pertumbuhan neuron di otak dan gen lain mungkin memiliki pengaruh yang tidak langsung seperti membuat seseorang menyukai bau buku, sehingga meningkatkan kesenangan membacanya. Pengaruh gen terhadap kepribadian kita merupakan sesuatu yang rumit yang jelas adalah gen tidak bertingkah dengan sendirinya. Banyak orang berpikir bahwa yang membentuk kepribadian seseorang adalah keturunan atau lingkungan, padahal sebenarnya keturunan bersama lingkunganlah yang membentuk dirimu sekarang ini. Bayangkan saja apabila bocah jenius seperti Mozart, Fischer, dan Champollion tidak berada di lingkungan yang mendukung bakat mereka. Bagaimana jika mereka terlahir miskin? atau tidak memiliki mentor yang membimbing mereka? atau tidak memiliki keluarga yang mendukung passion mereka? sudah jelas lingkungan memiliki dampak besar terhadap tingkat kecerdasan kita. Terlepas dari faktor genetik. Tapi tidak menutup kemungkinan di dunia nyata kita bersaing dengan orang yang memiliki keduanya yakni mereka yang terlahir di lingkungan yang suportif serta secara genetik memiliki potensial untuk menyerap ilmu lebih cepat yang kemudian membuatnya berkembang lebih cepat. Bagaimana caranya kita berkembang dengan sama cepatnya? Berdasarkan penelitian dari Anders Ericson psikkolog dari Florida State University, caranya adalah dengan “Deliberate Practice”. Deliberate Practice adalah cara melatih keahlian secara sistematis dan dengan tujuan yang jelas. Jadi, daripada melatih hal yang samaberulang kali tanpa berpikir, Deliberate Practice menekankan pentingnya melatih suatu aspek tertentu dari keahlian kita untuk mengembangkannya menjadi lebih bagus. Contohnya, daripada melakukan free throw berulang kali tanpa tujuan, dengan Deliberate Practice, kita mencatat setiap kali free throw kita gagal, mengidentifikasi penyebab kegagalan dan memperbaiki nya supaya hal tersebut tidak terjadi lagi. Jadi kita kembali ke pertanyaan awal, apakah keturunan mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang di kemudian hari? Tentu saja, namun apakah gen satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan? tidak sama sekali. Pada akhirnya apa yang terkandung dalam DNA mu hanyalah sebatas potensial murni yang tidak ada artinya apabila tidak diimbangi dengan pendidikan dan kerja keras. Walaupun kita tidak sepenuhnya terlahir sebagai tanah liat tanpa wujud, kita juga tidak terlahir dengan takdir dan masa depannya sudah tertata rapi di depan mata, kita semua terlahir dengan potensial laten yang tidak dapat kita lihat, baik itu dalam bidang akademis, atletis, maupun artistik. Yang bisa kita lakukan hanyalah untuk menemukannya dan kemudian mengasahnya.